Seni penerjemahan tidak hanya tentang budaya, ideologi, dan filsafat, tetapi juga tentang bahasa. Salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah penerjemahan bahasa Mandarin adalah Yan Fu (严复, 1854–1921), seorang sarjana, reformis, dan penerjemah yang memperkenalkan pemikiran Barat modern ke Tiongkok selama periode transformasi kritis di akhir Dinasti Qing. Teori penerjemahannya yang terkenal—“Kesetiaan, Ekspresif, Keanggunan” (信、达、雅)—terus menjadi landasan studi penerjemahan bahasa Mandarin, banyak dikutip, ditafsirkan, dan diperdebatkan lebih dari satu abad kemudian. Artikel ini mengeksplorasi warisan Yan Fu, mengupas teorinya secara terperinci, dan menganalisis relevansi dan keterbatasannya yang bertahan lama dalam konteks praktik penerjemahan kontemporer.
Konteks Sejarah: Yan Fu dan Zamannya
Yan Fu hidup di masa krisis nasional dan pergolakan intelektual yang hebat. Perang Candu, runtuhnya tatanan tradisional Tiongkok, dan ancaman imperialisme Barat memaksa para sarjana Tiongkok untuk menghadapi kebutuhan akan modernisasi. Setelah belajar di Inggris di Royal Naval College di Greenwich, Yan menjadi salah satu intelektual Tiongkok pertama yang memperoleh paparan langsung terhadap filsafat, sains, dan pemikiran politik Barat.
Sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Pencerahan dan teori evolusi, Yan kembali ke Tiongkok dengan tekad untuk memperkenalkan ide-ide ini kepada masyarakat Tiongkok. Namun, ia memahami bahwa paparan langsung terhadap ide-ide asing tidak hanya memerlukan penerjemahan linguistik, tetapi juga mediasi budaya dan konseptual. Penerjemahannya atas karya-karya seperti Karya Thomas Huxley Evolusi dan Etika, John Stuart Mill adalah Tentang Kebebasan, Dan milik Adam Smith Kekayaan Bangsa-Bangsa berperan penting dalam membentuk lanskap intelektual Tiongkok modern.
Membongkar Triad Terjemahan Yan Fu: 信、达、雅
Dalam kata pengantarnya untuk terjemahan bahasa Mandarin dari karya Huxley, Evolusi dan Etika (《天演论》), Yan Fu memaparkan teori tiga prinsipnya yang terkenal: “信、达、雅” (Kesetiaan, Ekspresif, Keanggunan)Ketiga standar ini, menurutnya, penting untuk keberhasilan penerjemahan. Mari kita telaah setiap komponennya:
A. 信 (Kesetiaan)
Prinsip ini mengacu pada kesetiaan terhadap makna teks asli. Yan Fu percaya bahwa seorang penerjemah pertama-tama harus menghormati maksud penulis, keakuratan fakta, dan struktur logis. "Kesetiaan" tidak menyiratkan makna harfiah kata demi kata, melainkan kesetiaan konseptual dan semantik.
Contoh: Dalam menerjemahkan istilah-istilah filosofis seperti “kebebasan” atau “evolusi,” Yan tidak hanya mencari padanan linguistik tetapi juga kejelasan konseptual, bahkan jika ia harus mengadaptasi ekspresi tersebut ke dalam tradisi filsafat Tiongkok.
B. Ekspresivitas / Keterpahaman (Ekspresivitas / Keterpahaman)
Yan berpendapat bahwa penerjemahan harus jelas kepada audiens target. Pada masanya, banyak pembaca Tiongkok yang tidak terbiasa dengan logika dan konsep ilmiah Barat. Oleh karena itu, ia mengutamakan aksesibilitas dan kejelasan.
“达” menunjukkan bahwa penggunaan frasa yang janggal atau sintaksis yang tidak wajar harus dihindari, meskipun itu berarti mengubah struktur kalimat atau menyederhanakan bagian-bagian yang padat. Hal ini membuat terjemahan Yan bersifat edukatif dan mudah dicerna, sehingga sesuai dengan tujuannya yang lebih luas yaitu pencerahan budaya.
C. 雅 (Keanggunan / Keanggunan Sastra)
Keanggunan, atau 雅, mengacu pada penyempurnaan sastra. Yan percaya bahwa terjemahan tidak hanya harus menginformasikan, tetapi juga mengangkat—karya tulis harus ditulis dalam bahasa Mandarin yang halus dan berbudaya yang akan menarik bagi pembaca yang berpendidikan. Prinsip ini menghubungkan penerjemahan dengan tradisi estetika tulisan Mandarin klasik.
Penekanan pada gaya ini juga mencerminkan nilai-nilai sastra Konfusianisme, di mana karya yang dibuat dengan baik tidak hanya menyampaikan makna tetapi juga menunjukkan pengembangan moral dan intelektual.
Contoh Praktik Yan Fu
Dalam terjemahannya Evolusi dan Etika (《天演论》), Yan menerjemahkan ide-ide biologis dan filosofis yang kompleks ke dalam prosa Tiongkok klasik. Meskipun pembaca modern mungkin menganggap gayanya padat, gaya ini sangat cocok untuk kaum terpelajar pada masanya. Ia secara kreatif menggunakan istilah-istilah filosofis Tiongkok untuk menjelaskan ide-ide Barat, seperti menggunakan “物竞天择” untuk mewakili “seleksi alam.”
Demikian pula dalam menerjemahkan karya Mill Tentang Kebebasan, ia menyeimbangkan akurasi konseptual dengan kosakata moral Konfusianisme. Hal ini memungkinkan para pembacanya untuk menghubungkan cita-cita Barat yang tidak dikenal dengan kerangka intelektual Tiongkok, sehingga pemikiran asing menjadi lebih dapat diterima dan meyakinkan.
Implikasi Filosofis dan Budaya
Teori Yan Fu mencerminkan tindakan penerjemahan budaya yang disengaja, bukan hanya konversi bahasa. Ia bukan sekadar penyalur pemikiran Barat, tetapi mediator budaya yang mengadaptasi ide-ide ke dalam tradisi intelektual Tiongkok.
Model triadik ini mengungkap Yan Orientasi Konfusianisme, terutama dalam penekanan pada 雅 (keanggunan), yang mencerminkan cita-cita literati akan ekspresi yang halus. Ini juga menunjukkan pendekatan fungsionalis sebelum fungsionalisme menjadi teori penerjemahan formal—Yan menyesuaikan terjemahannya dengan kebutuhan dan harapan audiensnya.
Selain itu, konsep 达 (ekspresivitas) mengantisipasi Teori Skopos, yang menyatakan bahwa tujuan penerjemahan (atau skopos) harus memandu metodenya. Tujuan Yan bukan hanya menerjemahkan tetapi juga mencerahkan dan mereformasi, dan dia menyesuaikan strateginya sesuai dengan itu.
Refleksi Kritis dan Relevansi Modern
A. Kekuatan dan Pengaruh yang Berkelanjutan
- Nilai Pedagogis: “Kesetiaan, ekspresi, keanggunan” tetap menjadi tiga serangkai dasar dalam pendidikan penerjemahan bahasa Mandarin. Banyak universitas dan buku teks Tiongkok terus mengutip prinsip-prinsip Yan Fu sebagai pedoman dalam praktik penerjemahan.
- Terjemahan yang Berpusat pada Audiens:Penekanannya pada pemahaman merupakan gambaran teori penerjemahan komunikatif modern.
- Adaptasi BudayaModelnya menggarisbawahi perlunya memediasi antarbudaya alih-alih menerjemahkan istilah secara mekanis.
B. Keterbatasan dan Kritik
- Gaya Bahasa yang Usang: Komitmen Yan terhadap bahasa Mandarin klasik (文言文) membuat karyanya sulit dibaca oleh pembaca modern. "Keanggunan"-nya kini dapat dilihat sebagai penghalang, bukan sebagai kelebihan.
- Penekanan berlebihan pada Estetika: Dalam beberapa konteks, tuntutan untuk 雅 (keanggunan) mungkin mengutamakan gaya daripada akurasi atau fungsionalitas, terutama dalam penerjemahan teknis atau hukum.
- Tidak Berlaku Secara UniversalModel “kesetiaan, ekspresivitas, keanggunan” tidak selalu sesuai dengan media kontemporer seperti subtitel film, iklan, atau lokalisasi perangkat lunak, yang mengutamakan keringkasan, kejelasan, dan dampak.
- Ambiguitas dalam Aplikasi: Para kritikus menunjukkan bahwa ketiga prinsip tersebut sering kali saling bertentangan. Sebuah terjemahan mungkin akurat tetapi tidak elegan, atau ekspresif tetapi tidak sepenuhnya akurat. Yan tidak memberikan metode sistematis untuk menyelesaikan ketegangan tersebut.
Aplikasi dan Interpretasi Kontemporer
Para ahli teori penerjemahan modern di Tiongkok sering kali menafsirkan ulang tiga serangkai Yan Fu berdasarkan kebutuhan saat ini. Misalnya:
- Kesetiaan sekarang diperluas untuk mencakup tidak hanya semantik tetapi juga kesetiaan pragmatis dan budaya.
- Ekspresi dipandang sebagai suatu permohonan kepada norma komunikasi budaya sasaran, bukan hanya kejelasan.
- Keanggunan tidak lagi tentang gaya klasik, tapi kesesuaian gaya genre dan audiens.
Selain itu, warisan Yan Fu juga menginspirasi perdebatan tentang etika penerjemahan, seperti tanggung jawab penerjemah untuk mempertahankan makna sumber alih-alih menyesuaikannya dengan harapan target.
Yan Fu lebih dari sekedar seorang penerjemah—dia adalah seorang pelopor modernitas Tiongkok, seorang pembaharu budaya, dan jembatan antara peradaban. Teori triadiknya tentang "kesetiaan, ekspresi, keanggunan" mencerminkan pemahaman mendalam tentang bahasa sebagai alat komunikasi dan artefak budaya.
Meskipun modelnya memiliki keterbatasan, namun model ini tetap menawarkan wawasan berharga mengenai seni dan tanggung jawab penerjemahan, terutama dalam konteks yang kaya budaya atau sensitif terhadap ideologi. Di dunia saat ini—di mana penerjemahan mesin, lokalisasi, dan media global membentuk kembali profesi penerjemahan—warisan Yan Fu mengingatkan kita bahwa makna tidak hanya ditransfer tetapi juga ditransformasikan, dan penerjemahan yang sebenarnya adalah tindakan negosiasi budaya yang mendalam.
